“Petunjuk Atasan” Jadi Tameng Pencairan Dana Hibah GMIM, Aktivis Tantang Hakim Hadirkan Denny Mangala di Persidangan

BeritaInvestigasiNews.id. Sulut,- Fakta persidangan kasus dugaan penyalahgunaan dana hibah ke Sinode GMIM kembali memantik sorotan tajam publik. Pasalnya, istilah “petunjuk atasan” yang berulang kali muncul di ruang sidang diduga menjadi pedoman pengecualian dalam proses pencairan dana, meski berkas administrasi belum lengkap.

Aktivis Sulawesi Utara pun mulai bersuara lantang. Ketua Pelopor Angkatan Muda Indonesia Perjuangan (PAMI-P) Sulut, Jonathan Mogonta, menantang majelis hakim untuk menghadirkan langsung sosok yang disebut-sebut memberi “petunjuk” tersebut.

Baca Juga: "Aktivis Ultimatum APH: Jangan Biarkan Fakta Persidangan Hibah GMIM Terkubur"

“Sejak sidang kedua hingga sidang keempat hari ini, saksi maupun terdakwa konsisten menyebut adanya peran atasan dalam pencairan dana hibah GMIM. Kalau memang demikian, kenapa tokoh ini tidak dihadirkan di ruang sidang?” tegas Jonathan usai mengikuti sidang di PN Manado, Rabu (24/9/2025).

Nama Asisten I Pemprov Sulut, Denny Mangala, kian mengemuka. Dalam persidangan, terdakwa Fereydy Kaligis, mantan Kepala Biro Kesra, secara terbuka menyebut adanya “perintah atasan” yang membuat pencairan dana hibah Rp500 juta untuk Perkemahan Pemuda Sinode GMIM tetap diproses meski dokumen belum lengkap.

Hal serupa ditegaskan saksi Silvia Silvana Tarandung, staf Biro Kesra. Ia menirukan ucapan Kaligis: “Proses jo Sil karena bapak so ja dapa marah dari pimpinan” (diproses saja karena pimpinan sudah marah).

Bagi Jonathan, fakta ini tidak bisa dianggap sepele. “Pimpinan yang dimaksud jelas mengarah pada Asisten I. Apalagi, dalam kepanitiaan acara perkemahan itu, Denny Mangala sendiri duduk sebagai Ketua Harian,” ujarnya.

Ia menambahkan, Mangala bahkan pernah diperiksa intensif oleh penyidik Polda Sulut selama 11 jam terkait kasus ini. “Itu artinya, perannya bukan sekadar isu, melainkan fakta yang sudah mendapat atensi penyidik. Dua alat bukti sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menyeret yang bersangkutan ke meja hijau,” lanjutnya.

Aktivis ini menekankan pentingnya prinsip “equal before the law” atau kesetaraan di hadapan hukum. “Tidak boleh ada pejabat yang kebal hukum. Konstitusi jelas menyatakan, semua warga negara sama kedudukannya di depan hukum tanpa kecuali,” tegas Jonathan sambil mengutip Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Menurutnya, bila majelis hakim mengabaikan fakta-fakta yang terang benderang ini, publik bisa menilai ada praktik tebang pilih dalam penegakan hukum. “Masa rakyat kecil langsung dihukum, sementara pejabat yang jelas-jelas disebut di persidangan justru dibiarkan lolos? Ini akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum,” pungkasnya.

Editor : Kaperwil Sulut Romeo

Berita Terbaru